Berdasarkan
hasil The
8th Asian Conference On Clinical Pharmacy (ACPP )
yang diadakan oleh Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 1-4 Juli 2008
bertempat di Hotel Hyatt Surabaya diketahui bahwasanya dunia farmasi
Indonesia harus lebih banyak lagi belajar tentang kefarmasian kepada
Negara yang lebih maju.
Indonesia saat
ini masih sangat kekurangan tenaga Apoteker khususnya tenaga farmasis
klinik karena tenaga farmasis klinik ini sangat membantu tugas
dokter dalam
menetapkan penggunaan obat yang tepat bagi penyakit pasien.
Penyebaran tenaga farmasi klinik di Indonesia masih belum merata
karena tidak terdapatnya aturan yang jelas dalam hal pendistribusian
tenaga farmasi,
Dahulu
sekitar Tahun 1989 kita pernah mengenal masa bakti apoteker seperti
halnya PTT pada dokter. Akan tetapi aturan tersebut hilang begitu
saja tanpa adanya kejelasan sehingga distribusi lulusan Apoteker
menjadi tidak merata. Apoteker
yang fresh reguet hanya terpusat dikota-kota besar saja. Berdasarkan
kenyataan diatas, Departemen Kesehatan menyepakati aturan baru yaitu
setiap rumah sakit di Indonesia harus memiliki Komite Farmasi dan
Terapi (KFT) yang langsung dipimpin oleh direktur masing-masing rumah
sakit.
Tapi sayang, KFT
ini tidak berjlan sebagaimana mestinya karena masih banyak pula rumah
sakit yang tidak memiliki KFT sehingga kemungkinan kesalahan
informasi tentang pemilihan obat bagi pasien sangat mudah terjadi
Apoteker
Indonesia saat ini sangat jauh tertinggal dibanding negara tetangga
kita seperti Malaysia. Di Malaysia Pendidikan farmasi lebih
difokuskan pada satu bidang tertentu, sehingga nantinya akan
dihasilkan tenaga Farmasi yang kompeten dan profesional
Kemajuan dunia
farmasi di Malaysia hanya digerakan oleh 8 orang apoteker saja dan
sekarang sudah berkembang menjadi sekitar 9000 orang apoteker. Angka
ini jauh dibawah jumlah Apoteker yang ada di Indonesia yang berjumlah
lebih kurang 22.000 orang, tetapi jumlah yang banyak tersebut belum
bisa berbuat banyak untuk kemajuan profesi apoteker itu sendiri.
Apoteker di Indonesia masih boleh dikatakan apoteker ”gado-gado”,
serba bisa tapi serba tanggung. Kita yang berjumlah 22 .000 orang
belum bisa menghasilkan farmasi spesialist. Bandingkan dengan
malaysia, mereka saat ini sudah memiliki farmasis klinik spesialis
diabetes atau farmasis klinik dalam penyembuhan adiksi rokok.
Kapankah hal ini
akan terwujud bagi Apoteker kita......
Jawabanya
tergantung kita semua.
Langkah kita
masih panjang, teruslah berjuang para apoteker muda...
Sumbangkan yang
terbaik untuk bangsamu.... profesimu......
Hidup Apoteker Indonesia
Dikutip dari Warta Unair
0 komentar:
Posting Komentar